Raihan dan Rania | PART 4
Keduanya
sama-sama terdiam. Hening, Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sesekali Rania
memainkan ujung jilbab yang dipakainya. Sementara Raihan mengetuk-ketukkan
jarinya diatas spidometer motornya. Suasana gang kos an Rania yang sepi
mendukung kecanggungan diantara Raihan dan Rania. Raihan seperti ingin berkata
sesuatu, tapi ditahannya. Rania pun begitu, seperti hendak menumpahkan
kekesalannya tapi ia urungkan.
___________________________________________________________________________
(Play Music)
Tak
tahan dengan kecanggungan ini, Raihan mulai membuka suara
(Pagi ini aku bermimpi, Akankah
jadi kenyataan?)
“3
minggu ini ngapain aja?” ucap Raihan membuka suara
(Bisanya kau
mengubah rasa, Jadi makin cinta)
“Bernafas”
jawab Rania ketus. Raihan hanya menghela nafas, lalu tersenyum sabar.
(Apakah rasamu
kan sama, Ku harap kau pun rasa)
“Cuma
bernafas aja sampai gak sempat bales chatnya Mas”
(Namun ku
sadari akhirnya, Kamu tidak cinta)
“Sekalian
latihan kok, hahaha” jawab Rania
(Cukup aku
rasakan ini, Cukup aku rasakan ini)
“Latihan?
Latihan apa?” tanya Raihan heran
(Sakit sekali, Sakit
sekali)
“Latihan
terbiasa tanpa Mas”
(Tak usah kau
tanyakan lagi, Tak usah kau hindari lagi)
“Eh
kok gitu?”
(Dan hingga
kini, Kusendiri lagi)
Rania
tersenyum sambil berkata
“Kalo
Mas punya pacar, gak mungkin kan tetep main sama aku terus”
(Kini)
Raihan
terdiam
(Pertama kau bilang kau cinta)
“Bentar
lagi kamu sibuk ngerjain skripsi. Aku nggak mau mengganggu”
(Tapi kamu tak
cinta)
Raihan
masih diam
(Bagaimana
bisa ku percaya, Kata-katamu itu)
“Lalu
kamu wisuda, lulus. Aku masih disini, tapi kamu udah punya dunia baru”
(Cukup aku
rasakan ini, Cukup aku rasakan ini)
Raihan
tetap terdiam
(Sakit sekali Sakit sekali. Tak usah kau
tanyakan lagi Tak usah kau hindari lagi)
“Aku
pikir, bukannya lebih baik kita belajar menjalani dunia masing-masing?. Kalau kita
memang ditakdirkan untuk tetap berteman,pasti
ada seribu satu cara untuk kita bisa tetep main bareng lagi kan?”
(Dan hingga
kini Kusendiri lagi)
“Kenapa?
Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?” tanya Raihan
(Kini kau
pergi meninggalkan luka ini)
Rania
tiba-tiba tertawa
“Hahahaha
apa sih Mas. Jangan tegang dong!”
(Sesuka hati
kau permainkan rasaku)
Raihan
diam, ekspresinya tetap datar
(Cukup aku
rasakan ini. Cukup aku rasakan ini. Sakit sekali. Sakit sekali)
Tiba-tiba
ponsel Raihan berdering. Nama Nindy muncul di layar ponsel Raihan. Rania tau
itu.
“Halo?” sapa Raihan
..............
“Iya...”
..............
“Oke, nanti aku kabarin lagi”
(Tak usah kau
tanyakan lagi. Tak usah kau hindari lagi)
“Kemarin
aku ajak Nindy ke kampus, nemenin aku ketemu dosen pembimbing” ucap Raihan.
Raihan sepertinya tahu apa yang ada dipikiran Rania
(Dan hingga
kini. Kusendiri lagi)
“Oo..
gitu ya” jawab Rania singkat
(Cukup aku
rasakan ini. Kau sudah bersama yang lain lain)
“Dia
lagi libur semester, makanya disini mau liburan sekalian nginep dirumah
tantenya di Blulukan. Katanya dia mau jalan-jalan keliling Solo” jelas Raihan.
(Sakit
sekali. Sakit sekali)
“Iya...”
Keduanya
kembali terdiam. Berperang dengan pikirannya masing-masing. Tak tahu lagi apa
yang hendak diucapkan. Dua anak manusia yang sedang bernegosiasi dengan isi
hatinya masing-masing. Sebenarnya mereka berdua ini apa? Bukan sepasang kekasih,
tapi marah ketika salah satu diantaranya pergi dengan yang lain. Bukan sepasang
kekasih, tapi kecewa ketika salah satunya tidak membalas pesan ataupun
mengangkat telepon.
Memang
benar kata orang, bukankah sebaiknya perasaan yang berkecamuk dihati itu
diungkapkan? Dengan begitu semua akan memahami isi hati masing-masing. Bukan malah
seperti ini, berdiri berhadapan namun ego saling berperang seolah tak ada jalan
yang lebih mudah. Entah siapa yang harus memulai terlebih dahulu,bukankah lebih
baik diungkapkan? Kalaupun salah satunya tak memiliki rasa yang sama,
setidaknya sudah berusaha mengungkapkan ketimbang merasa digantung seperti ini,
bukan?
“Mau
beli makan dimana? Aku antar sekalian ya?” tanya Raihan
“Nggak
usah Mas. Aku nggak jadi beli makan diluar”
“Loh
kenapa?”
“Gakpapa.
Tiba-tiba pengen makan indomie pake cabe rawit”
“Jangan
makan mie terus. Ayo aku antar beli makan”
“Sembarangan.
Udah sebulan aku nggak makan mie, tauk!”
Bohong.
Sebenarnya semenjak Rania lost contact dengan Raihan, makanannya sehari-hari
adalah mie instan dan telur ceplok. Bukan karena tak punya uang, tapi entah
mengapa Rania tak bersemangat untuk makan. Hanya karena ia butuh tenaga, maka
ia harus mengisi perutnya. Oleh karena itu Rania memilih makanan yang praktis
saja.
Raihan
hanya mendengus sebal. Ia tak bisa memaksa Rania lagi. Anak itu sangat keras
kepala kalau soal makanan. Oleh karena itu Raihan sering memanggil Rania dengan
sebutan “Badak” karena ia keras kepala. Apa hubungannya? Entahlah.
“Ya
sudah kalau kamu nggak mau makan nasi”
“Hehehehe”
“Kalo
gitu aku pulang dulu ya”
“Iya,
hati-hati”
“Besok
berangkat aku anter”
“Tapi-“
“Gak
tapi-tapian!”
“Huh
yaudah!” Rania kesal
“Aku
pulang dulu. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Sepeninggal
Raihan, Rania hanya bisa berdiri mematung di depan gerbang kosnya. Berbagai pikiran
buruk ini berkecamuk di pikirannya. Mengapa Raihan hanya diam saja ketika Rania
bilang ingin menjauh? Kenapa pula ia malah membahas tentang Nindy? Apa Raihan sama sekali tak
peduli dengan dirinya? Apa Raihan akan tetap baik-baik saja padahal Rania
tidak? Mata Rania mulai berkaca-kaca. Sedih, sakit, pilu, semua itu menjadi
satu dihatinya.
Tidakkah
Raihan tahu betapa Rania merindukanya tetapi tetap tak bisa membalas pesannya
karena Rania ingin tahu bagaimana keadaan Raihan ketika jauh darinya? Tapi Raihan
sepertinya baik-baik saja. Ia bahkan masih bisa pergi berdua dengan Nindy.
“Ahh
kenapa aku jadi posesif seperti ini? Aku kan bukan siapa-siapa nya Mas Raihan”
Gumam Rania.
Sesungguhnya
Rania sangat penasaran tentang bagaimana perasaan Raihan terhadap dirinya? Sungguh
Rania ingin berteriak dihadapan Raihan, menanyakan bagaimana perasaan Raihan. Tapi
Rania tidak pernah melakukannya. Rania tidak bisa. Ia hanya terlalu takut
menghadapi jawaban Raihan perihal perasaannya terhadap Rania. Pun Rania takut
jika Raihan berubah, takut bila Raihan menjauhinya. Yang bisa Rania lakukan
hanyalah menunggu, menungggu, dan menunggu manusia es seperti Raihan membuka
mulutnya dan menyatakan perasaannya kepada Rania.
___________________________________________________________________________
Rania
benar-benar makan mie instan lagi. Sungguh gadis yang keras kepala. Sudah tau
mie instan itu tidak sehat, masih saja dimakan.
Ketika
ia asyik memakan mie, tiba-tiba ia teringat sesuatu
“Ya
ampun! Kenapa aku lupa tanya soal mawar putih itu!” ucap Rania, Rania mengambil
ponselnya hendak menghubungi Raihan tapi ditahannya.
“Ahh
besok saja lah. Besok kan Mas Raihan jemput aku”
_______________________________________________________________________
Keesokan harinya
Jarum
jam menunjukkan pukul 09.30 pagi. Rania sudah bersiap dengan pakaian rapinya. Sebentar
lagi Raihan akan menjemputnya. Tiba-tiba ponsel Rania berdering. Ternyata chat
masuk dari Raihan.
Perasaan
Rania tak enak. Ada apa? Tak biasanya Raihan seperti ini. Sesibuk apapun
Raihan, ia pasti menyempatkan untuk menjemput atau mengantar Rania.
“Mungkin
memang benar-benar urusan penting” ucap Rania pada dirinya sendiri.
Sesampainya
di kampus, Rania dan Cici langsung masuk kelas. Dosen belum datang sehingga suasana
kelas terasa ramai. Anak-anak lain sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang
mengobrol satu sama lain, sibuk berselfie ria, main game, bahkan ada yang tidur
padahal masih pagi. Rania yang sibuk scrolling di instagram tiba-tiba melihat
foto kaktus yang imut. Ia ingin membelinya.
“Eh
liat Ci kaktusnya imut ya!” ucapnya kepada Cici
“Iya
tuh. Dimana belinya?”
“Ini
di Singosaren. Mau kesitu gak? Kamu sibuk gak?”
“Iya
iya nanti habis kuliah aku anterin kesana”
“Hehehe
makasih Cici comel”
Kemudian
dosen yang ditunggu datang. Mereka yang sebelumnya berisik, langsung terdiam.
___________________________________________________________________________
Rania
dan Cici sampai di toko kaktus yang mereka lihat di Instagram tadi. Ternyata toko
itu cukup besar dan lengkap. Tak hanya memnjual kaktus, tapi juga ada barang-barang
imut lainnya dan pastinya ini akan menjadi tempat favorit bagi Rania untuk
memanjakan mata sekalin toko skincare dan make up.
“Eh
itu Ci kaktusnya”
“Ya
ampun cantik banget”
Ketika
Rania dan Cici sibuk memilih kaktus, tiba-tiba mata Rania menangkap sosok yang
dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Raihan. Kemudian pemandangan di hadapannya
membuat dada Rania sesak lagi. Raihan dan Nindy. Mereka sedang memilih bunga. Padahal
tadi Raihan bilang ada urusan mendadak. Inikah yang dimaksud Raihan?
Rania
tidak mau diam lagi. Ia menghampiri dua orang di depannya, yang sepertinya
belum menyadari kehadirannya.
“Mas
Raihan? Eh ada Mbak Nindy juga” sapa Rania
Dua
orang yang tadinya sibuk memilih bunga itu menoleh dan tampak terkejut melihat
kehadiran Rania. Apalagi Raihan, wajahya tampak mengeras.
Comments
Post a Comment