“Maaf, untuk diriku”




Pernahkah kau mendengar kisah  anak manusia yang selalu ditolak dunia?
Pernahkah kau mendengar kisah anak manusia yang tak pernah dibiarkan “bernafas” walau hanya sedetik saja? 
Pernahkah kau mendengar kisah anak manusia yang tak pernah punya kesempatan untuk mendapatkan pengakuan dari dunia?
 Pernahkah kau mendengar kisah anak manusia yang tak pernah merasakan cinta dan kasih sayang dari seisi dunia?

Aku tahu, bagimu ini terkesan berlebihan.  Kau pun berkata“Hahaha... mana ada hal yang seperti itu?” “ahh kau ini terlalu lebay” “apasih? Drama queen banget” “cari sensasi ya?” , dan kalimat-kalimat menyakitkan lainnya. Aku perlahan mulai menyadari bahwa aku memang tak sepenuhnya diterima di dunia ini. Sungguh menyakitkan ketika aku berharap sebuah sandaran ketika aku berkeluh kesah, justru pergi bersama dan membiarkan aku menanggung luka ini sendirian. Ketahuilah, aku sangat penasaran mengapa Tuhan menciptakan makhluk menjijikan seperti diriku ini? Bukannya aku tidak bersyukur, tetapi ketika aku memandang sekitarku, semua terlihat “sempurna”. Hanya akulah yang paling tak diinginkan disini. Akulah yang selalu menanggung derita sekalipun kalian tak memahami deritaku. Akulah yang paling sering diabaikan sekalipun kalian tak merasa sedang mengabaikanku. Akulah yang paling sering ditolak sekalipun kalian berkata bahwa kalian tak menolakku.
Terimakasih kepada kau yang telah menyadarkanku dengan kalimat sarkasmu bahwa “ketidaksempurnaanku hanya aku yang tau, dan aku tidak berhak untuk menampakkan kesempurnaan palsu, dan aku tidak berhak atas kebahagiaan palsu itu. Terimaksih telah menyadarkan. Tak perlu merasa bersalah. Toh kepercayaan diriku ini juga palsu”.
Tapi bisakah kau mengatakannya dengan kalimat yang lebih baik? Aku sudah sangat sadar bahwa aku memang tak pantas mencintai dan dicintai siapapun. Aku tau, tapi sungguh aku sangat terluka. Kepercayaan diriku yang sudah kutata selama beberapa tahun ini hancur seketika. Pada akhirnya aku kembali kepada diriku yang dulu. Manusia yang hanya diam membisu kala dunia tengah riuh bergemuruh.
Seperti itukah cara kerja dunia? Memprioritaskan yang “sempurna” dan mengabaikan yang penuh “cacat”.  Lalu aku harus bagaimana? Aku pun sudah berusaha untuk “terlihat sempurna” sekalipun itu palsu. Kau pikir aku tak kesakitan disini? Aku sakit. Sungguh kesakitan. Tapi apa yang bisa ku lakukan? Toh dunia hanya memandang kesempurnaan. Sekalipun itu palsu, dunia tak peduli. Memikirkannya saja sudah membuat dadaku terasa sesak. Siapa yang patut disalahkan disini? Aku? Kau? Atau Tuhan?.
Beribu maaf sudah kukatakan ketika aku menampakan ketidaksempurnaanku. Aku selalu minta maaf ketika kalian merasa terganggu atas kehadiranku. Kau pikir aku mau jadi seperti ini? Kau pikir aku bisa memilih ingin dilahirkan seperti apa? Kau pikir aku tidak terluka atas tatapan merendahkanmu itu? Kau pikir aku tidak sesak atas ucapan menusukmu itu? Selama ini aku sudah berusaha mengikhlaskan segalanya. Ikhlas atas apa yang sudah ditakdirkan Tuhan untukku. Aku tak menyalahkan siapapun. Tetapi mengapa pada akirnya aku yang selalu diabaikan? Mengapa selalu aku yang mengalah? Menahan semua perih itu sendirian?
Haruskah aku memaklumi setiap ucapan menyakitkan yang kalian lontarkan? Aku juga manusia. Tak bisakah sedetik saja kau pikirkan bagaimana perasaanku?
Haha... perasaan? Aku bahkan tak tau perasanku seperti apa. Memikirkannya saja sudah membuatku sesak. Perasaaku? Yang selalu diabaikan oleh semua orang. Perasaan yang tak pernah mendapat sandaran. Perasaan yang selalu mencintai sendirian. Menangis di keheningan malam, tak ada yang tahu,  tak ada yang mau tahu. Bahkan untuk sekedar mengungkapkannya saja aku merasa tak pantas. Memikirkan jodoh? Haha,,, sungguh tak tahu diri jika aku berani memikirkan itu. Aku ini siapa? Memikirkan untuk bersanding dengan siapa saja sudah tak pantas, apalagi berani mencintai seseorang yang hebat. Sungguh tak tahu diri. Mana mungkin mereka yang hebat dan sempurna mau bersanding denganku yang seperti ini? Sudah ku katakan, “Dunia selalu memandang kesempurnaan” . Termasuk dia yang sempurna itu tak akan mungkin bersanding denganku yang penuh kecacatan ini.
Aku tak menyalahkanmu yang menginginkan kesempurnaan dari seorang perempuan. Tentu saja kau berhak atas itu. Aku minta maaf bila aku sempat menjadi parasit di hidupmu, siapapun itu. Sungguh aku memang tak pantas untuk sekedar memupuk harapan lebih kepadamu. Aku tahu, pada dasarnya manusia selalu berambisi bahwa hidupnya kan sempurna bersama orang yang sempurna. Dan itu bukan aku. Kuharap siapapun itu, kau akan mendapatkan seseorang yang sesuai dengan keinginanmu. Lalu aku bagaimana? Aku baik-baik saja. Aku sudah sadar diri bahwa ketidaksempurnaan mengajarkanku untuk hidup mandiri tanpa sandaran. Toh aku masih punya Tuhan yang senantiasa menyayangi ketidaksempurnaanku.
Sekarang aku mengerti, bahwa tajamnya lidah manusia sampai pada level mereka telah menyakiti hati orang lain tanpa sadar, bahkan sampai menghilangkan kepercayaan diri seseorang. Terkadang lidah manusia bisa setajam parang ketika berbicara. Atau lebih tepatnya ketikan jari seseorang bisa menusuk lebih daripada ribuan jarum.
Terkadang aku ingin benar-benar istirahat, berbincang dengan Tuhan, mempertanyakan mengapa manusia seperti aku bisa lolos dari seleksi alam semesta? Mengapa aku dilahirkan bukan untuk dicintai? Mengapa aku diciptakan hanya untuk menanggung derita? Dan banyak hal lagi yang ingin kupertanyakan. Aku pun lelah menampakan tawa palsu setiap harinya. Hatiku sudah kelu menahan tangis di kesunyian malam. Tetapi Yang Maha Kuasa tak kujung menjawabku. Yang bisa kulakukan hanya berkata pada diri sendiri. “Tidak apa-apa. Hatimu akan baik-baik saja. Toh hidup harus terus berlanjut kan? Sekalipun jiwamu terkoyak, kakimu bersimbah darah. Jika belum waktunya mati, maka malaikat pun takkan mendatangi bayanganmu”





Love,
Dadelion

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

CERPEN | Menikahimu

Raihan dan Rania | PART 4

Raihan dan Rania | PART 6