CERPEN | Menikahimu


Siang itu, cuaca terasa lebih terik dari hari-hari sebelumnya. Udara panas langsung menerpa wajah siapa saja yang ada di bawah terik matahari siang ini. Tak terkecuali, gadis cantik yang kini tengah berjalan terburu-buru menuju halte bus yang ada di ujung jalan besar. Gadis itu nampak sedang dikejar waktu. Bagaimana tidak? Orang tuanya baru menelepon beberapa saat yang lalu dan memintanya untuk segera pulang. Banyak pikiran buruk yang kini berkecamuk di kepala gadis itu. Ayahnya baru saja keluar dari rumah sakit karena darah tingginya kumat beberapa minggu yang lalu. Sedangkan ibunya meskipun masih sehat namun kondisinya tidak sebaik yang dulu. Ibunya sering kelelahan dan merasa pusing. Mungkin karena usianya sudah menginjak kepala lima. Hal inilah yang semakin membuat gusar perasaan gadis yang kini sudah menduduki salah satu kursi di dalam bus tersebut. Ia takut kondisi orang tuanya memburuk sehingga ia diminta untuk segera pulang.

(Play Music)

Suasana di dalam bus tak terlalu ramai seperti biasanya. Gadis bernama Berlian itu mulai terlelap. Nampaknya ia kelelahan karena pekerjaan yang menumpuk di kantor, ditambah lagi kekhawatirannya terhadap keadaan kedua orang tuanya membuat Berlian tak sempat beristirahat sejenak. Gadis itu terlelap dengan tenang hingga beberapa saat suara kondektur bus yang membangunkannya. Ternyata ia telah sampai di tempat tujuannya. Gadis itu segera turun dari bis dan berlari kecil menuju sebuah komplek perumahan yang tak jauh dari halte bis tempat ia berhenti tadi.

Langkah kecilnya membawanya ke sebuah rumah yang tak terlalu besar namun tampak nyaman. Halamannya ditumbuhi bunga-bunga kecil yang ditata di dalam pot. Gadis itu segera memasuki rumah tersebut dengan tergesa-gesa. Seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu teras rumah terkejut akan kehadiran gadis itu.

“Astaghfirullah! Neng Lian kenapa lari-lari begitu?” tanya wanita paruh baya itu.
“Ibu sama Bapak dimana, Budhe?” tanya gadis itu sambil ngos-ngos an
“Ada di dalam, Neng” kata wanita paruh baya yang biasa dipanggil Budhe itu.

Tanpa basa basi lagi, Lian langsung berlari kedalam rumah dan mendapati kedua orang tua yang sangat disayanginya itu dalam keadaan baik-baik saja, sehat walafiat tanpa kurang suatu apapun. Bahkan keduanya kini tengah bersantai menonton acara televisi sambil menyantap singkong goreng. Melihat kehadiran putri semata wayangnya itu, kedua orang tua itu terkejut namun tampak bahagia.

“Lian sudah pulang?” tanya Ibu sambil tersenyum
“Ibu baik-baik aja? Ibu nggak kumat lagi kan? Bapak gimana? Pusing lagi pak?” tanya gadis itu. Raut wajahnya nampak khawatir. Sementara ayahnya hanya tersenyum sambil menyomot singkong goreng di piring.
“Kamu ini kenapa? Bapak sama Ibu baik-baik aja kok. Kenapa panik gitu?” tanya Ibunya sambil tersenyum
“Ibu tadi tiba-tiba telfon nyuruh Lian cepet-cepet pulang kenapa? Lian kan jadi khawatir. Lian kira Ibu kambuh lagi”
“Hahahaha Ibu baik-baik aja, nak”
“Terus kenapa? Ada apa?”
Kini Ibunya diam sambil tersenyum memandangi anaknya, lalu berkata
“Duduk dulu, Ibu sama Bapak mau bicara serius”
“Ada apa sih? Ada masalah apa?” tanya Lian keheranan dengan sikap ibunya.

Ibu menngambil nafas panjang, lalu berkata sambil menatap serius putri kesayangannya
“Lian, sekarang usiamu sudah berapa tahun?”
“Dua puluh tujuh, bukannya Ibu tau?
“Kamu tahu kan? Bapak dan Ibu sudah tidak muda lagi, sudah tidak sesehat dulu lagi”
Berlian terdiam
“Kamu juga tahu, usiamu juga sudah bukan usia gadis remaja lagi. Sebentar lagi usiamu menginjak kepala tiga”
Berlian masih terdiam
“Kamu selalu sibuk kerja, kerja, kerja. Kamu bahkan nggak peduli sama keadaan Bapak dan Ibu”
“Nggak peduli gimana?” tanya Berlian
“Buktinya kamu nggak berniat mencari pendamping hidup disaat Bapak dan Ibumu ini sudah semakin tua”
“Bukannya nggak niat. Memang belum ada yang pas”
“Bagaimana kamu bisa menemukan pasangan yang pas kalau kamu selalu menutup diri terhadap siapapun yang mendekati kamu? Kamu ini kenapa sih sebenarnya?”
Berlian terdiam
“Ibu sudah lelah nak. Ibu juga ingin menyaksikan kamu menikah. Ibu takut usia Ibu sudah tidak lama lagi”
“Ibu kenapa ngomong gitu sih” protes Berlian
“Ibu ngomong gini supaya kamu sadar”

Bapaknya yang sedari tadi diam, mulai membuka suara
“Yang dikatakan Ibumu itu benar, nak. Bapak dan Ibu sudah tidak sesehat dulu lagi. Bapak juga ingin melihat kamu memakai gaun pengantin. Menjadi walimu saat ijab qabul nanti. Bapak takut waktu Bapak semakin habis tapi kamu nggak menunjukan sikap mau menikah”

Berlian mulai menitikan air mata
“Bapak...” lirihnya
“Bapak minta maaf jika terkesan memaksa kamu untuk segera menikah, tapi Bapak benar-benar ingin melihat kamu menikah. Kalau Allah mengizinkan, Bapak juga ingin diberi kesempatan menggendong cucu”
“Bapak sama Ibu maunya gimana? Lian harus gimana?” tanya Lian sambil terisak
“Bapak punya kenalan, dia punya anak laki-laki yang setahu Bapak anak yang baik, sholeh, dia juga sudah bekerja sama seperti kamu. Kalau kamu mau, Bapak bisa kenalkan”
“Jadi aku dijodohin gitu?”
“Bapak dan Ibu tidak memaksa kamu nak. Kalau kamu merasa nggak cocok kamu bisa menolak. Tapi setidaknya coba dulu”
Berlian terdiam, lalu berkata
“Ya sudah, terserah Bapak sama Ibu aja”
Kedua orang tuanya kini tersenyum bahagia mendengar jawaban Betlian.

___________________________________________________________________________


Semua terasa begitu cepat bagi Berlian. Ia sudah berkenalan dengan lelaki pilihan orang tuanya. Namanya Bara, usianya dua tahun lebih tua dari Berlian. Sepertinya ia lelaki yang baik, lembut dan sepertinya sabar. Tetapi yang namanya hati tidak bisa dipaksakan, Berlian belum sepenuhnya menerima lelaki itu. Bahkan ketika mereka sudah menikah dan tinggal satu rumah, sikap Berlian masih dingin terhadap suaminya. Tak jarang Berlian marah-marah dan membentak Bara. Entah apa yang membuat Berlian selalu emosi ketika menghadapi Bara. Mungkin ini akibat dari pernikahan tanpa rasa cinta. Untungnya, Bara adalah suami yang sabar dalam menghadapi sikap galak dan kasar istrinya itu. Ia tak pernah marah sekalipun istrinya sudah melampaui batas.

Waktu berjalan begitu cepat. Kini pernikahan mereka sudah hampir satu tahun. Namun tak ada yang berubah diantara mereka. Cinta masih belum tumbuh, yang ada hanyalah emosi yang semakin menggebu-gebu di hati Berlian. Hingga suatu ketika sebuah kejadian yang mampu mengubah hidup dua insan tersebut.

Pagi itu, hari minggu. Berlian dan Bara libur kerja. Seperti biasa, di hari minggu mereka gunakan untuk membersihkan rumah. Karena di hri-hari lainnya mereka berdua sibuk bekerja. Tak ada waktu untuk membereskan rumah, apalagi membersihkan seluruh rumah. Meskipun rumah yang mereka tinggali saat ini sederhana dan tidak terlalu besar, namun karena kesibukkan keduannya, tak ada yang sempat membersihkan seisi rumah.
“Mas kamu belanja bulanan ya, ini uangnya. Aku mau masak dulu”
“Iya... mau nitip apa?”
“Nggak ada”
Bara pergi ke supermarket dekat rumah mereka untuk berbelanja kebutuhan bulanan. Sementara Berlian memasak makanan untuk makan malam mereka.

Ketika Bara kembali dari supermarket, Berlian tengah menyiapkan makanan yang sudah jadi dan menatanya diatas meja makan.
“Aku tadi beli sabun mandi cair sama sabun mandi batang. Kamu pakai yang cair, aku pakai yang batang aja gapapa”
Berlian geli mendengar perkataan suaminya itu. Bukannya menganggap hal itu romantis, justru Berlian menganggap Bara alay.

(Play Music)

Malam itu, mereka makan malam bersama. Mennyantap hidangan sederhana buatan Berlian. Selesai makan, Bara mengeluarkan benda yang sejak tadi disimpannya dibawah meja makan. Ternyata itu hadiah untuk Berlian.
“Ini tas buat kamu, tadi aku beliin. Bagus kan? Aku minta teman kantorku yang pilihin”
Berlian menerima tas itu dan memandanginya. Ia tak suka tas itu. Bentuknya kuno dan tidak cocok dengannya.
“Berapa kamu beli ini?”
“Lima ratus ribu”

Berlian terkejut dan marah besar. Spontan ia melemparkan tas itu ke muka suaminya. Ia sangat marah. Bagaimana bisa Bara membeli tas jelek seperti itu dengan harga lima ratus ribu?
“Bodoh! Kamu beli tas bentukannya kayak begini doang lima ratus ribu!? Kamu jual seratus ribu aja nggak ada yang mau beli! Bodoh kamu mas! Terus uang darimana yang kamu pakai buat beli tas ini!? Tanya Lian sambil berteriak.
“Uang yang kamu kasih setiap hari itu kan sering nggak habis. Sisanya aku simpan semua. Tadinya aku mau belikan baju atau sepatu, tapi aku lihat tas yang biasa kamu pakai sudah mulai rusak, jadi aku belikan tas aja” ucap Bara

Benar, setiap hari Berlian memang memberi uang seadanya untuk keperluan Bara. Sedangkan gaji suaminya itu selalu full ditransfer seluruhnya ke atm Berlian.
Namun Berlian tetap kesal dan marah. Ditengah ekonomi mereka yang terbilang pas pas an justru Bara malah menghambur-hamburkan uang untuk tas yang tidak sesuai antara kualitas dan harganya. Sementara Bara tetap berusaha menenangkan kemarahan Berlian, namun Berlian tetap saja marah.

“Kembalikan tas itu besok! Atau buang aja aku gak peduli! Pokoknya besok aku gak mau lihat tas itu lagi disini!” bentaknya sambil masuk ke kamar dan membanting pintu.
Suaminya hanya bisa diam dan tak menanggapi kemarahan Berlian. Malam iu istrinya benar-benar mengamuk.

___________________________________________________________________________

Keesokan harinya, seperti biasa. Suaminya sudah menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk mereka bawa ke kantor. Ketika Berlian telah selesai bersiap, ia melihat suaminya masih belum berangkat. Padahal biasanya suaminya itu selalu berangkat lebih dulu.
“Kamu nggak kerja? Udah jam berapa ini? Kenapa belum berangkat?” tanya Berlian
“Ada yang mau aku bicarakan. Duduk dulu sebentar”
Berlian mengira ini karena masalah tas semalam. Padahal ia sudah tidak marah.

“Aku tahu, kamu memang nggak pernah cinta sama aku. Sejak awal kita menikah karena dijodohkan, tanpa dasar cinta. Aku sudah berusaha membuat kamu suka sama aku. Tapi sampai saat ini tetap tidak bisa”
Bara mulai menangis, namun tetap melanjutkan ucapannya. Berlian terkejut, baru pertama kalinya ia melihat suaminya menangis.

“Kalau ada sesuatu yang ingin kamu ubah dari kita, dari aku, pasti akan aku lakukan. Kamu minta apapun pasti akan aku penuhi, asal jangan minta sesuatu yang berada diluar kuasa dan kemampuanku. Aku tahu, sulit untuk memaksakan diri mencintai seseorang, tapi kalau ada yang bisa aku lakukan agar kamu mencintai aku, pasti aku lakukan”  Bara semakin terisak
“Tapi kalau memang sudah tidak bisa, nggakpapa. Kalau kamu mau kita pisah, insyaAllah aku sudah ikhlas. Lagipula kamu sendiri tidak bahagia dengan pernikahan kita, kenapa harus dilanjutkan?. Aku sudah merasa gagal menjadi suami yang baik, aku nggak bisa bahagiain kamu. Aku minta maaf, semua yang aku lakukan sudah maksimal. Itu yang terbaik yang bisa aku lakukan”. Ucap Bara sambil menunduk, tak berani menatap istrinya. Takut kalau istrinya semakin marah dan membentaknya lagi.

Saat itu juga, Berlian memeluk suaminya. Ia menangis. Tak tahu bila suaminya bisa berkata seperti itu. Bara yang kini berada di pelukan Berlian, malah menangis semakin keras dan terisak-isak.
“Nggak apa-apa. Kita bisa menjalani ini mas. Aku juga minta maaf mas. Aku nggak pernah berfikir untuk pisah dari kamu. Kita bisa menjalani ini mas, pelan-pelan” ucap Berlian sambil terisak

Hanya itu yang terucap dari mulut Berlian. Pagi itu, mereka berangkat kerja dengan mata yang bengkak dua-duanya.

Sementara Berlian tidak bisa fokus bekerja seharian itu. Ia memikirkan kembali apa yang telah dilakukan suaminya kepadanya. Dari hal yang paling sepele sampai yang paling rumit. Sejak awal menikah, banyak hal yang dilakukan suaminya untuk membuat Berlian bahagia, namun tak pernah ia sadari.
Tak jarang suaminya bangun lebih awal, memasak dan menyiapkan bekal makan siang untuk Berlian. Padahal keduanya sama-sama bekerja, bahkan Bara masuk kerja lebih awal daripada Berlian

Betlian yang punya kebiasaan buruk menaruh handuk diatas kasur, suaminya yang selalu membereskannya dan meletakkan handuk itu ke kamar mandi. Tanpa kesal dan tanpa protes.

Suaminya yang selalu menelepon bila jam 7 malam ia belum sampai rumah

Berlian pernah demam tinggi, semalaman Bara tidak tidur hanya untuk mengecek suhu badan istrinya

Suaminya yang selalu menjemput ketika istrinya lembur sampai malam. Tanpa bicara apapun, ketika berlian keluar kantor, Suaminya itu sudah ada di depan kantor. Menjemputnya dengan motor.

Dan masih banyak hal-hal manis yang selalu dilakukan Bara untuk membahagiakan Berlian, namun sayang, Berlian tak pernah menyadarinya.

 Berlian menangis ketika memikirkannya. Ia sama sekali tak bisa fokus bekerja. Akhirnya ia izin pulang. Sesampainya dirumah, ia menangis seharian. Memikirkan apa yang telah dilakukannya selama ini. Ia sadar bahwa ialah yang gagal menjadi istri yang baik. Ia yang selalu menyia-nyiakan perhatian suaminya.

Ketika ia mendengar suara motor suaminya dihalaman rumah, Berlian berlari dan menyambut suaminya dengan pelukan sambil berkata
“Sayang, aku cinta sama kamu. Seumur hidup aku belum pernah sejatuh cinta ini”
Bara terkejut, sampai menitikan air mata.

Berlian bersyukur. Mungkin suaminya tidak tampan, tidak punya banyak uang, tidak romantis, dan sebagainya. Tapi dari 7 milyar orang di muka bumi ini, hanya ia satu-satunya manusia yang bisa menerima dan mencintai Berlian dengan setulus hati. Menerima segudang kekurangan yang ia miliki. Berlian bersyukur, ia tidak terlalu terlambat menyadari bahwa ia dicintai dan mencintai orang yang tepat.

-Tamat-

Terinspirasi dari kisah nyata seseorang, semoga kamu dan suamimu selalu bahagia sampai maut memisahkan.
___________________________________________________________________________


Selama ini kita, aku, kamu mungkin telah mengabaikan perhatian kecil seseorang. Atau bahkan kita menyadarinya, namun kita tetap mengabaikan. Coba sekali saja tengok sekelilingmu, ketika kamu merasa tak dicintai, kemungkinan ada yang tulus mencintaimu, selalu memperhatikanmu, namun kau tak pernah menyadarinya. Perhatikanlah sebelum semuanya terlambat. Ada dia yang selalu berusaha membuatmu bahagia dengan hal-hal kecil yang ia lakukan untukmu. Hargailah usahanya, cintailah hatinya. Sebab mau ia lelaki ataupun perempuan, ia berhak untuk dicintai.







Comments

Popular posts from this blog

Raihan dan Rania | PART 4

Raihan dan Rania | PART 6